SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Selasa, 26 April 2011

Birahi dalam balutan Luka

Eka berusaha menahan emosinya dengan wajah bersungut dan diam seribu bahasa.
“Ngambek nih ye!”, goda Edi.
“Marah, ya?”, imbuh Edwin.
“Eh, kalian kesini sebentar!”, ajak Antok pada Edi dan Edwin agar duduk mendekat disampingnya.
“Coba lihat, wajah kakakmu, kalau lagi ngambek gitu tambah cakep ya, tapi kenapa jodohnya pada lari ya!”, kata Antok sambil tertawa diikuti Edi dan Edwin.

Mendengar kata-kata Antok, Eka pun tak kuasa menahan amarahnya. Ia langsung berdiri memegang piring kosong yang ada disampingnya. Ketiga pemuda yang ada didepannya segera saja lari ketakutan dan berhamburan dari ruang makan. Dan Eka pun kembali duduk untuk melanjutkan makannya karena memang dia hanya berniat menggertak saja.
Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan.
“Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?”, tanya ayahnya pada Eka.
“Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Antok menggoda aku”, keluh Eka.
“Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau kompak, kamu sih jarang pulang!”, kata ayahnya.
“Kok aku yang salah, mereka itu yang kekanak-kanak-an”, tangkis Eka.
“Mereka kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah kumpul dengan Antok”, kata ibunya.
Dalam hati, Eka tertawa dengan kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi muda kembali ketika bergurau dengan adik-adiknya dan Antok. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama sibuk bekerja di Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Antok juga memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Antok semakin bertambah walau tanpa rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan cerdik tanpa dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap kali temu dalam 2 hari ini. Tak jarang pula ia menerima godaan kekanak-kanak-an dari Antok. Semua itu cukup mengusik emosinya pada daya tarik Antok yang aneh dan belum pernah ia jumpai pada pria-pria yang dikenalnya.
Dari pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Antok memiliki wawasan yang luas dan sangat dalam di beberapa bagian. Ia juga tahu bahwa Antok memiliki pola pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya yang bule walau tak sepenuhnya meninggalkan adat istiadatnya. Cara berpikir Antok juga cenderung praktis, dewasa dan bijak. Sikap skeptis pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu cepat merespon keadaan sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah kenapa Antok terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang ditakuti oleh Antok.
Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka. Setelah berbincang lama ia menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat panggilan telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya. Sementara itu ayahnya memanggil Antok, Edi dan Edwin yang masih ngobrol dan merokok di teras rumah.
“Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik malam-malam begini?”, tanya Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap bepergian.
Raut muka Edi dan Antok pun juga kaget dan tegang merasa bersalah pada Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk membalas godaan yang dialaminya tadi.
“Mbak maafin kami deh, kami memang keterlaluan menggodanya tadi”, ujar Antok.
“Iya memang kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian”, jawab Eka.
“Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat apalagi malam begini”, kata ibunya.
Walau masih bingung tapi ketiga pemuda itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya.
“Rupanya kalian juga berat ya kutinggal”, ejek Eka pada adik-adiknya dan Antok.
“Jelas dong adikmu merasa berat karena nggak ada lagi yang membelikan makanan lezat”, kata Antok spontan.
“Heh, Mas Antok juga ikut makan gitu lho”, kilah Edi.
“Tapi itu kan sedikit, cuman ngicipin doang”, balas Antok.
“Enak aja, Mas Antok habis 2 piring kok bilang cuman ngincipin doang”, sergah Edwin.
Perang mulutpun terjadi antara Antok, Edi dan Edwin. Eka melihat pemandangan itu sambil tersenyum.
“Eh, sudah-sudah! Kalian kok seperti anak kecil saja, ini sudah malam”, bentak ayah Eka membuat semuanya terdiam.
“Siapa yang bisa mengantar aku malam ini?”, tanya Eka sambil berharap Antok bisa.
“Yuk, kita antar kakakmu ke Malang, kita bisa menghirup udara pegunungan”, ajak Antok pada dua bersaudara itu.
Tapi Edi dan Edwin beralasan dengan kesibukannya masing-masing sehingga hanya Antok yang terlihat bisa.
Satu jam berselang, Antok dan Eka telah berkendaraan di jalanan luar kota Surabaya-Malang. Antok melajukan kendaraannya dengan santai. Berdua mereka menembus kegelapan malam sambil bercakap soal berbagai hal ringan. Setiap hal yang mereka bicarakan selalu berkepanjangan seakan mereka berdua memperoleh lawan bicara yang cocok. Diselingi canda dan tawa, mereka berdua merasakan saat-saat yang tak akan mudah mereka lupakan.
Waktu mendekati pukul 12 tengah malam ketika mereka berdua sampai ditempat tujuan. Di sebuah pelataran hotel berbintang 1 yang mereka masuki telah menunggu 2 orang kolega Eka. Antok menolak turun dari mobil ketika diajak Eka karena dia merasa tak ada kepentingan dengan urusan perusahaan Eka. Tak lama setelah Eka masuk ke lobby hotel, ia kembali ketempat Antok memarkir kendaraannya.
“Tok, kamu tidur di kamar ini ya, aku langsung rapat sampai pagi dan mungkin baru bisa ketemu kamu lagi besok agak siang karena setelah rapat langsung menuju ke perkebunan”, kata Eka sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel.
Antok segera bergegas turun dari mobilnya dan masuk kedalam hotel mencari kamar yang nomernya tertera di gantungan kunci yang dipegangnya.
Dalam perjalanannya menuju kamarnya, Antok sempat berjalan bersama-sama Eka sebelum akhirnya berpisah di lobby. Dalam kesempatan itu, Antok menyempatkan curi-curi pandang ke arah Eka. Wanita berparas manis dengan rambut hitam lurus sebahu yang berada selangkah didepannya itu membuat hati Antok gusar. Sebuah perasaan yang telah terpupuk di hati Antok makin tak kuasa ia hindari. Panah asmara yang menembus hatinya ikut menyertai dinginnya kota Malang yang menembus jaketnya.
Tertegun didepan sebuah acara TV yang ramai, pandangan Antok masih kosong dan hanya terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak oval dengan alis tebal, mata bersinar, berhidung mancung, berlesung pipit dan berbibir mungil. Bayang-bayang itu tak lain adalah Eka. Pikirannya berusaha berontak dan menaklukkan hatinya, tapi semua itu sia-sia belaka. Hanya rasa kantuk akibat lelah yang akhirnya menyapu kesadarannya hingga pulas.
Sendiri di dalam kamar, membuat Antok bermalas-malasan semenjak bangun. Bosan didalam ia pun keluar dan berjalan-jalan disekitar hotel setelah membasuh muka. Setelah sarapan dengan menu makan pagi yang telah disediakan hotel secara gratis, Antok duduk-duduk di lobby sambil merokok dan membaca koran. Merasa puas, ia pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan bermalas-malasan.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Eka kembali dengan raut muka terlihat lelah dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Melihat Eka yang capek, Antok membantu melepaskan sepatu yang masih dikenakan Eka.
“Urusannya bagaimana Mbak?”, tanya Antok yang hanya dijawab Eka dengan kata “beres”.
“Jam berapa Mbak kita bisa pulang?”, tanya Antok lagi.
“Santai Tok, aku masih capek!”, jawab Eka sambil melelapkan matanya.
Antok lalu duduk di kursi yang tak berjauhan dengan tempat tidur dan memandangi Eka yang terbaring dengan lemas. Meski matanya menutup tapi hati Eka merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Matanya terbuka dan melihat Antok yang masih duduk memperhatikan dirinya.
“Tok, kamu kok duduk disitu, takut ya dekat denganku? Ayo sini kalau berani!”, tantang Eka dengan nada manja.
Mendengar tantangan itu, Antok memberanikan diri berbaring disamping Eka yang masih telentang diatas tempat tidur.
“Hii.. dingin ya disini”, sebuah kalimat meluncur dari bibir Eka sambil memeluk tubuh Antok.
Antok hanya diam bagai guling yang bernapas. Sedikit demi sedikit kedua kepala mereka berdekatan dan saling bersentuhan. Eka memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksi Antok. Tapi Antok hanya memandang saja wajah Eka.
“Ada apa Tok?”, tanya Eka berbisik setelah membuka kembali matanya.
“Mbak cakep sekali”, jawab Antok dengan pandangan mata beradu dengan Eka.
Perasaan Eka bergetar bagai lonceng yang berdentang membawa bibir mungilnya menempel pada bibir Antok. Tanpa aba-aba, Antok melumat lembut bibir Eka. Gelombang asmara menyapu rasio mereka berdua. Kuluman demi kuluman datang silih berganti baik dari Antok maupun Eka. Pertautan dua bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan nafsu. Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis yang ada sampai saat ini.
Saling memeluk masing-masing tubuh terjadi tanpa mereka sadari. Gesekan tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau masih terhalang oleh pakaian yang masih dikenakan. Irama halus yang menjadi awal berubah seiring dengan tindih menindih yang saling mereka lakukan pada satu sama lainnya. Rotasi posisi mereka lakukan sambil berciuman bibir tanpa ada habisnya.
Sesaat kemudian, Eka menghentikan ciumannya pada bibir Antok. Berpandangan mata dengan penuh arti, tangan Eka melepas kancing dan membuka resleting celana Antok. Antok mereaksinya dengan membuka kancing kemeja Eka dengan pelan. Satu persatu pakaian mereka berjatuhan dari tempat tidur.
Duduk berhadap-hadapan, mereka saling memandang tubuh bugil masing-masing. Lekuk-lekuk tubuh yang ada didepan satu sama lainnya merasuki pikiran mereka dan mengundang selera Antok dan Eka. Benak mereka terisi dengan rasa bahagia akan kenikmatan yang akan segera mereka rengkuh. Waktupun terasa berhenti bagi keduanya.
Api cinta menyulut asmara dan mengobarkan nafsu yang telah sampai diubun-ubun Antok dan Eka. Embun duka telah mengering dan tak mampu lagi memadamkan apa yang akan terjadi. Titik kritis dimana perbuatan ini masih dapat dicegah telah mereka lewati. Yang tersisa saat ini hanyalah lampu hijau traffic light yang takkan padam walau putus kabelnya.
Pelan tapi pasti, Antok dan Eka merapatkan tubuhnya. Sambil duduk beradu pandang, mereka berdua mengusap lembut bagian tubuh masing-masing. Bibir Eka makin terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek ketika usapan tangan Antok melewati daerah kemaluannya yang telah basah. Eka pun segera membelai batang kemaluan Antok dengan perasaan. Lalu..
Merangkul dalam pelukan masing-masing, menghantarkan hangat di tubuh pada lawannya. Kelembutan kulit Eka menyentuh kulit berbulu milik Antok. Pelan-pelan Eka naik keatas pangkuan Antok. Tangan Eka merarangkul bagian belakan leher Antok. Sedangkan Antok memegang punggung Eka dan mengusapkan tangannya naik turun. Keduanya beradu ciuman kembali dengan sangat-sangat mesra dan dekat.
Tiba-tiba Eka melepaskan bibirnya dari bibir Antok sambil mendesah panjang, “Ahh..”.
Batang kemaluan Antok yang tengah mendongkak keatas terselip masuk kedalam liang kenikmatan Eka. Ciuman Antok mendarat di leher Eka membuat ia tak kuasa untuk segera menurunkan tubuhnya dan membenamkan seluruh batang kemaluan Antok kedalam lobang kenikmatannya.
Eka pun mendesah makin keras dan makin panjang, “Aaahh..”. Lepas pulalah kecupan nikmat bibir Antok pada leher Eka.
Mata Eka yang sedang terpejam membelalak menatap pandang mata Antok. Pandangan Eka bagai menembus kalbu Antok. Daya tarik keduanya sudah seperti 2 magnet yang beda kutub. Bibir menganga Eka disambut dengan kuluman bibir juga Antok. Sedikit demi sedikit Eka menggerakkan tubuhnya keatas kebawah di pangkuan Antok. Gerakan pelan Eka sesekali membuat ciumannya terlepas dari bibir Antok dan berlanjut dengan adu pandang.
Dua tubuh saling menempel dan bergesek. Dua nafas saling bersambung. Kulit bertemu kulit. Dada Antok bagai dibelai payudara Eka yang menegang. Belaian punting Eka yang mengeras menyentuh puntingnya. Belaian yang lain daripada yang lain. Irama gerakan naik-turun Eka terus berlanjut walau pelan.
“Ohh Mbak.. ohh..”, ucap Antok dalam kenikmatan dengan mata berkejap-kejap.
Eka makin mempererat dekapannya dan berbisik pada telinga Antok, “Tok, aaku mauu..”.
Tapi belum tuntas kalimatnya, Eka sudah mengejang hebat tak kuasa menahan tumpahan kenikmatan dalam perasaannya yang terdalam.
Seakan mengerti apa kelanjutan kalimat Eka, Antok membalas bisikan dengan bisikannya tepat ditelinga Eka, “Lepaskan Mbaak, ohh..”.
“Ahh..”, desah Eka tak bergerak lagi serta bergelinjang dalam kehangatan dekapan Antok.
Dinding-dinding liang kenikmatan Eka terasa berdenyut mengantarkan tumpahan kebahagiannya.
Cairan orgasme Eka yang membasahi batang kemaluannya, dirasakan Antok bagai guyuran gelombang asmara. Sesaat kemudian mereka berdua tak bergerak maupun bersuara. Masih dalam dekapan Antok, Eka lemas diatas pangkuan Antok sambil terpejam. Eka membelai rambut Antok dengan rasa kasih sayang. Antok pun membalasnya dengan kecupan dalam di pangkal leher Eka.
Masih tegak bertopi baja bagai tentara siap perang dalam kegelapan, batang kemaluan Antok tak kunjung keluar dari liang kenikmatan Eka. Dengan segenap tenaganya, Antok mengangkat lalu membaringkan tubuh Eka. Menindih diatas tubuh Eka, Antok memandangi kecantikan wajah Eka yang makin mempesonanya.
Tak kuasa menahan gejolak jiwanya, Antok kembali melayangkan ciumannya pada bibir Eka. Pertautan lidah kembali terjadi walau sesaat. Bergerak pelan dan penuh perasaan, ia menggerakkan pinggulnya naik-turun maju-mundur.
Kaki-kaki Eka yang semula terlempang lemas, kemudian mengapit kaki-kaki Antok yang tengah berada diantaranya. Antok terus menggerakkan pinggulnya dengan irama yang menghanyutkan. Membawa dirinya bersama Eka meniti tangga gairah menuju puncak kenikmatan.
Tangan-tangan Eka menggapai bantal dan seprei yang ada disekelilingnya. Menggegamnya erat-erat seakan menahan sesuatu yang tak ingin ia lepaskan lebih dahulu. Diiringi dengan desahan-desahan menggairahkan yang jujur nan polos tak dibuat-buat.
Pendakian bersama akhirnya mencapai tujuannya. Gerakan Antok terhenti tiba-tiba dengan tubuh yang menegang. Didalam liang kenikmatang Eka yang paling dalam, batangnya bergemuruh hebat. Berdenyut tiada henti disambut dengan cengkeraman dinding liang. Kehangatannya melumuri permukaan dinding, memicu sambutan selanjutnya.
Melepas semua yang telah ia tahan sejak tadi, Eka melenguh dalam kenikmatan, “Ooaah..”.
Tubuhnya bergelinjang dalam dekapan Antok. Waktu seakan berhenti ketika denyut dan aliran kenikmatan mereka bersatu padu.
Ledakan nafsu asmara menyisakan bara kasih yang membahana didalam 2 jiwa yang sedang berdekapan. Kecupan bibir Antok pada kening Eka menjalankan kembali alur waktu yang telah terhenti beberapa saat. Lalu ia beranjak dari tindihannya pada tubuh Eka dan berbaring disampingnya.
Keduanya merasa lemas seakan tak ada lagi sisa tenaga yang mampu mereka keluarkan kecuali mendekapkan diri satu sama lain dibawah kehangatan selimut. Dan tertidur pulas hingga sore.
Dalam perjalanan pulang, mereka berdua hampir tak mengeluarkan suara. Sikap Antok berubah dingin dan Eka juga tak mengerti apa yang harus diperbuat menanggapi sikap Antok tersebut. Walau berbagai usaha mengajak bicara yang dilakukan Eka pada Antok selalu dijawab dengan hanya beberapa patah kata tapi ia tetap merasa bahwa Antok adalah pria idamannya. Sesampai di depan rumah keluarga Eka, Antok menurunkannya dan hanya mengucapkan kata perpisahan pendek lalu tancap gas pulang.
Diatas ranjangnya, Antok bersiap untuk tidur. Tapi aktivitas yang biasa ia lakukan dengan mudah itu terasa sulit dilakukan saat ini. Pikirannya berkecamuk, bingung dan ragu akan apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Disatu sisi ia menyesal telah melakukan permainan cinta dengan Eka dan merasa mengkhianati sahabatnya Edo. Tapi disisi yang lain ia menyesal telah bersikap dingin pada Eka, kakak Edo.
Antok merasakan kecocokan ketika berhubungan dengan Eka. Tak hanya oleh parasnya yang selalu mempesona dirinya tapi juga oleh semua sikapnya yang mampu merebut simpatinya. Hatinya seakan berat melepas Eka tapi wanita yang ada dalam hatinya itu adalah kakak sahabatnya yang telah meninggal. Dalam benaknya, ia merasa harus memposisikan Eka bukan sebagai kekasih tapi sebagai kakaknya.
2 Hari Kemudian
Telah 2 hari Eka berusaha menghubungi Antok setiap ada waktu tapi selalu gagal. Telepon dan SMS nya tak pernah memperoleh jawaban dari Antok. Ia benar-benar tak mengerti atas sikap Antok yang telah berubah sepulangnya dari Malang. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengannya dan berbicara dengan Antok, karena besok pagi ia harus balik ke Jakarta.
Rasa penasarannya membawanya menuju kamar adiknya, Edi.
“Ed, tumben ya Antok nggak pernah kesini lagi?”, tanya Eka pada Edi yang mengerjakan tugas kampus.
“Tadi aku ketemu”, jawab Edi.
“Di sini?”, tanya Eka.
“Nggak, di rumahnya sewaktu aku pinjam bukunya”, jawab Edi
“Memangnya ada perlu apa Kak sama Mas Antok?”, lanjut Edi.
Eka hanya menggelengkan kepala.
“Kangen ya, hehehe..”, goda Edi pada kakaknya.
Eka hanya bisa cemberut dengan wajah yang agak merah.
“Mas Antok itu orangnya aneh ya kak?”, kata Edi pada Eka kemudian.
“Aneh gimana maksudmu?”, tanya Eka tidak mengerti.
“Dia sepertinya lebih senang sendiri daripada punya pacar, pergaulannya juga kurang, tapi kalau kita sudah berteman dan mengenalnya, rasanya sulit untuk melepaskannya”, jelas Edi.
“Lalu, anehnya dimana?”, tanya Eka penasaran.
“Kak, umurku jauh lebih muda dari Mas Antok, jelek-jelek begini apalagi cuma bermodal dengkul, aku sudah gonta-ganti pacar sampai 5 kali, Mas Antok belum satu pun”, jawab Edi sedikit menyombongkan diri.
“Hmm.. Kamu yang keterlaluan dan layak disebut playboy kampungan”, kata Eka meledek adiknya, tapi yang diledek malah tertawa cekikikan.
“Eh Ed, cewek macam apa sih yang dicari Antok”, tanya Eka.
Edi tak langsung menjawab tapi memandangi kakaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Jelas, jelas bukan yang dicari, huahaha..”.
“Apa kamu bilang? Aku kurang cakep ya? terlalu tua ya?”, tanya Eka nerocos.
“Kak, Kak aku cuman bercanda, kakak memang cakep dan masih muda kok, tapi..”, jawab Edi tergesa-gesa tapi ragu untuk melanjutkannya.
“Tapi apa?”, buru Eka.
“Tapi kakak ada hubungan saudara dengan almarhum Kak Edo”, jawab Edi.
Kakak beradik itu lalu terdiam sesaat.
“Apa hubungannya Ed?”, tanya Eka.
“Saya pernah mencuri dengar bahwa Mas Antok punya prinsip kalau ia tak akan mengencani saudara ataupun relatif sahabatnya walaupun cakep, alasannya bisa merusak persahabatan”, kata Edi.
Eka hanya terdiam mendengar penjelasan itu. Ia mulai mengerti arti sikap Antok saat ini.
Eka melangkahakan kakinya keluar dari kamar Edi. Tiba-tiba sebuah bunyi SMS masuk dari HP nya Edi.
“Wow, Mas Antok sakti sekali, baru di bicarakan sudah SMS aku”, kata Edi.
Eka menghentikan langkahnya dan menunggu reaksi Edi atas SMS Antok.
“Aduh! sayang sekali, Mas Antok ngajak kok pas lagi banyak tugas gini, terpaksa dilewatkan nih”, kata Edi dengan raut menyesal dan sibuk menjawab SMS.
“Emangnya, ngajak apa si Antok?”, tanya Eka.
“Ngajak latihan main game Counter-Strike dirumahnya yang lagi sepi”, jawab Edi.
1 Jam Kemudian Di Rumah Antok
Bel rumah keluarga Antok berbunyi dan mengagetkan Antok yang lagi asyik nonton acara TV.
“Siapa sih malam-malam gini?”, pikir Antok dalam hati.
Dengan enggan ia menuju kedepan rumah. Lalu ia bergegas membukakan pintu setelah dipikirnya Edi yang datang walau SMS dari nya mengatakan sebaliknya.
“Paling SMSnya cuman bercanda saja”, dalam benak Antok.
Kagetnya bukan kepalang setelah dilhatnya yang datang adalah Eka bukan Edi. Antok sempat tertegun tak bergerak membiarkan Eka yang masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya.
“Aku boleh masuk nggak nih?”, tanya Eka dengan nada canda.
“Sorry-sorry Mbak!”, kata Antok dengan tergopoh-gopoh.
Lalu Antok membukakan pintu dan menyilakan Eka masuk.
“Sepi sekali Tok rumahmu, sendirian?”, tanya Eka.
“Eh, iya Mbak, keluarga lagi keuar kota semua, pembantu juga pulang”, jawab Antok.
Eka berkeliling dirumah Antok yang luas dan melihat-lihat tempat nongkrongnya adik-adiknya terutama Edo. Setelah puas berkeliling, Eka duduk di sofa ruang tengah.
“Ada perlu apa Mbak kesini?”, tanya Antok tanpa basa-basi.
“Eh, jahat sekali kamu, masa cuma adik-adikku yang boleh main kesini?”, tanya Eka.
“Bukannya jahat gitu Mbak, tapi Mbak kok berani kesini sendirian”, kata Antok.
“Apa yang perlu kutakutkan?”, tanya Eka tegas.
“Nggak ada, malah aku yang takut, hehehe..”, jawab Antok dengan bergurau.
“Sejak dari Malang kenapa kamu nggak mau jawab HP dan SMS ku?”, tanya Eka.
Antok tertunduk malu mendengar pertanyaan itu.
“Tok, aku tidak menuntut pertanggung jawaban, aku hanya butuh penjelasan darimu”, kata Eka.
“Kita sama-sama dewasa dan aku bisa mengerti kalau kamu hanya menganggap yang kita lakukan adalah sex”, lanjut Eka semakin blak-blakan.
Antok menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Bukan Mbak, bukan hanya sex tapi lebih dari itu, dan itulah penyebab perubahan sikap saya. Saya memang sengaja menjauh dari Mbak, bukan karena saya tidak suka tapi sebaliknya, saya suka sekali dengan Mbak. Mmm.. Saya mencintai Mbak Eka..”.
Kata-kata terakhir Antok menggetarkan hati Eka, membuatnya tak mampu mengucapkan sepatah kata. Eka hanya diam dan memandang Antok, menunggu dan menunggu.
“Kalau Mbak hanya menganggap yang kita lakukan hanyalah sex semata, saya bisa mengerti. Maaf Mbak, sebenarnya saya tahu saya tak pantas mengutarakan cinta pada Mbak. Apapun tanggapan Mbak terhadap saya, saya akan menerimanya. Mbak jangan kasihan pada saya”, lanjut Antok.
Eka mendehem mencoba dapat bersuara kembali, lalu berkata, “Aku nggak mengerti sama kamu Tok? Biasanya bila pria menyukai wanita, ia akan mengejarnya bukan sebaliknya, apalagi menghindar. Kenapa kamu menghindar dariku?”.
“Supaya saya dapat melupakan perasaan saya pada Mbak Eka”, jawab Antok.
“Kenapa? Apa karena aku saudaranya sahabatmu?”, tanya Eka.
Antok terkejut dengan dugaan Eka yang benar. Ia hanya menganggukkan kepalanya.
“Sekarang sahabatmu, adikku Edo sudah tiada, apa kamu masih ingin melupakan perasaanmu padaku?”, tanya Eka lagi.
“Edo memang sudah meninggal, jazadnya memang sudah tiada, tapi ia masih ada di pikiranku sampai akhir hayatku”, jawab Antok.
Sebuah jawaban yang membuat haru hati Eka.
“Selanjutnya apa mau mu, Tok?”, tanya Eka.
Antok hanya geleng kepala dan mengangkat pundaknya. Keduanya terdiam dan saling memandang.
Dengan ragu Antok bertanya, “Mbak Eka, sebenarnya ada perasaan sama aku atau nggak?”.
Pipi Eka merona dan tersenyum mendekat kearah Antok.
“Menurutmu bagaimana?”, bisik Eka dengan manja.
“Mbak Eka cuma merasa kasihan saja padaku karena masih jomblo, tak lebih dari itu”, jawab Antok polos tak mengerti maksud dibalik pertanyaan Eka.
Senyum Eka berubah jadi cemberut dan berkata, “Huh, teganya kamu ngomong gitu!”.
Kali ini Antok jadi bingung dengan sikap Eka.
“Jadi, jadi..”, kata Antok tak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulai mengerti maksud Eka.
“Jadi apa? ha..”, tanya Eka dengan nada menantang sambil mendekatkan wajahnya di dekat wajah Antok.
Mendengar nada Eka, Antok merasa apa yang tadi dimengertinya salah. Ia pun lalu menunduk lemas.
Dua tangan Eka memegang dan mendongkakkan wajah Antok hingga memandang wajahnya.
“Tok, kamu terlalu polos”, kata Eka.
Belum sempat Antok menanggapinya, bibirnya telah dilumat oleh bibir Eka. Karena agak kaget, Antok bergerak mundur. Tapi Eka mengikutinya dengan merangsek maju, makin mendekat hingga tubuhnya condong ke tubuh Antok.
Ciuman Eka dibibirnya, sempat membuat Antok bingung, tapi akhirnya ia pun meresponnya.
Tiba-tiba Eka menghentikan ciumannya dan berkata, “Aku takkan melakukan hal itu pada sembarang pria. Saat ini mungkin kita belum dapat menjadi kekasih. Tapi apakah kita juga harus berhenti menjadi teman akrab?”, tanya Eka.
“Saya selalu menganggap Mbak Eka lebih dari teman akrab meskipun bukan kekasih”, jawab Antok.
“Kalau begitu beres kan urusan kita?”, tanya Eka dengan senyum manisnya.
Antok mengangguk tanda setuju.
Mereka berdua lalu duduk berdampingan dengan santai diatas sofa ruang tengah.
Lalu Eka mengeluarkan sebuah permintaan, “Tok, besok aku balik ke Jakarta. Sebagai teman akrab masa kamu tidak memberiku sesuatu”.
“Saya mau memberi kejutan, tapi Mbak Eka harus memejamkan mata dulu”, kata Antok.
Permintaan Antok dituruti oleh Eka.
Dengan mata terpejam, Eka merasakan bibirnya memperoleh ciuman basah dari Antok. Sebuah sentuhan hangat telapak tangan ia rasakan mengusap payudaranya. Jiwanya seakan terbang ke awang-awang. Sekujur tubuhnya terasa bergairah kembali.
Ciuman bibir basah Antok bergerak ke arah leher lalu turun ke arah payudara Eka. Eka heran dengan kecepatan dan kelihaian Antok membuka kancing kemejanya serta melepas BHnya tanpa ia sadari. Keheranannya sirna karena jalan pikiran Eka telah terbuntu oleh rasa nikmat yang ia rasakan. Dengan mata masih terpejam, Eka dapat merasakan kedua payudaranya memperoleh kuluman nikmat secara bergantian.
Tangan-tangan Antok bergerak lagi, membuka kancing dan resleting celana jeans Eka. Lalu mengusap-usap celana dalam Eka tepat di daerah kemaluannya.
Eka mengeluarkan desahan pertamanya, “Ahh.. Oh.. Tok, lepaskan sekalian, ahh..”.
Tanpa kesulitan Antok telah melepaskan celana jeans dan celana dalam Eka secara bersamaan karena Eka sudah mengangkat pantatnya.
Mata Eka terbelalak ketika ciuman bibir basah Antok telah mencapai liang kenikmatannya.
“Ahh..”, Desah panjang nan dalam membahana di ruang tengah yang luas nan sepi.
Sesekali lidah Antok menjulur-julur kedalam liang kenikmatan Eka menyelingi kuluman yang dibuat oleh bibirnya. Tak lama kemudian, Eka mengerang, menarik kepala Antok dengan tangannya dan menjepitnya dengan kedua kakinya. Tubuhnya mengejang dan akhirnya menggelinjang.
“Oh, kamu nakal banget Tok”, kata Eka manja dan tersenyum puas.
“Itu tadi belum masuk katagori nakal Mbak! Apa Mbak ingin tahu katagori nakal?”, tanya Antok.
Eka hanya tersenyum dan mengangguk agak penasaran. Antok langsung melayangkan ciuman di bibir Eka setelah mendapat anggukan dari Eka.
Sesaat kemudian Antok telah melepaskan semua celananya sambil tetap memberi ciuman bibir pada Eka. Antok merebahkan Eka di sofa dan segera menindih serta menyetubuhinya. Aksi tiba-tiba yang dilakukan Antok membuat Eka terkejut dalam kenikmatan tingkat tinggi.
Antok melepas ciumannya dan menegakkan tubuhnya untuk membuat dorongan maju mandur yang makin lama makin cepat sambil memegang kedua kaki Eka.
“Ahh.. ahh.. Tok.. oh..”, desah Eka.
Antok melepas pegangan pada kaki Eka dan segera memeluk tubuhnya. Kedua tubuh yang saling bercengkerama itu sama-sama mengejang. Akhirnya Antok dan Eka melepas muatan nafsu asmara yang telah mereka tahan.
Kenikmatan dan kepuasan mereka raih bersama-sama dalam selimut duka yang telah menyatukan mereka berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar